
Ebeg adalah salah satu bentuk tarian rakyat yang berkembang di daerah Banyumas. Jenis tarian ebeg terdapat juga di luar daerah Banyumas khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di tempat lain Ebeg disebut juga Jaran Kepang, Kuda Lumping, dan Jathilan. Di Ponorogo disebut Reog.
Masyarakat Banyumas berpendapat bahwa ebeg dahulunya merupakan tarian sakral yang biasa diikut sertakan dalam upacara keagamaan. Umurnya sudah sangat tua. Setiap regu jaran kepang senantiasa terdiri dari 2 kelompok dengan 2 orang pemimpin atau komandan. Komandan yang satu menaiki kuda berwarna putih dan komandan satu lagi menaiki kuda berwarna hitam. Kuda berwarna putih menunjukkan pemimpin menuju kebenaran sejati. Sedangkan kuda berwarna hitam menunjukkan pemimpin yang menuju kejahatan. Pada trik-trik tertentu permainan kedua pemimpin itu bertemu dan tampak saling menggelengkan kepala. Hal ini menunjukkan bahwa antara kebenaran dan kejahatan tidak dapat bertemu. Kemudian mundur beberapa langkah, maju lagi sesaat ketemu menggelengkan kepala begitulah seterusnya dengan gerak-gerak yang lain.
Tetapi tarian ini jelas tarian rakyat yang lahir di tengah-tengah pedesaan. Perkembangan ebeg sejak sekitar abad ke-19 sampai sesudah kemerdekaan mulai dibumbui dengan unsur-unsur magis. Komandan regu yang tadinya berfungsi sebagai guru berubah fungsinya sebagai “pawang”. Penari ebeg dibuat mabuk (kesurupan) sang pawang. Di saat kesurupan penari ebeg menunjukkan kebolehan memakan kaca, mengupas kelapa muda dengan gigi bahkan memanjat pohon bambu yang tinggi dan meloncat-loncat. Pada jaman pembangunan ini pemerintah mengangkat kesenian ebeg dengan memberikan pembinaan-pembinaan. Unsur magis mulai dihilangkan. Namun tidak untuk daerah Banyumas, di daerah Banyumas masih sering terdapat pertunjukkan ebeg yang mengandung unsur magis. Kesenian ini mulai dihidupkan kembali khususnya Pemda Kabupaten Banyumas, dan dipentaskan di obyek-obyek wisata daerah Banyumas secara bergiliran seperti di daerah Cilacap, Banjarnegara, dan Purbalingga, di rumah-rumah warga yang sedang mempunyai hajatan, dll.
Struktur pertunjukkan ebeg dapat dipergelarkan di tempat yang cukup luas seperti pelataran, lapangan atau halaman rumah yang luas, karena tari ebeg termasuk tari massal. Waktu permainan siang hari dan lamanya antara 1-4 jam. Jumlah penari 8 orang atau lebih dua orang berperan sebagai Penthul-Tembem. Satu orang sebagai pemimpin dan 7 orang sebagai penabuh gamelan. Jadi 1 grup ebeg bisa beranggotakan 16 orang atau lebih. Ciri-ciri ebeg Banyumas antara lain memakai makutha, pakaiannya lebih tertutup dan diiringi lagu-lagu Banyumasan. Iringan gendhing-gendhing tersebut biasanya yaitu ricik-ricik, lung gadhung, blendong, gudril, eling-eling, dll.
Kuda ebegnya terbuat dari anyaman bambu yang dibentuk menyerupai kuda diberi warna hitam atau putih. Penarinya memakai celana yang dilapisi kain batik tetapi cuma sampai sebatas lutut. Mekutha (mahkota) di kepala dan sumping di telinga. Kedua tangan dan kaki memakai gelang yang diberi kerincingannya (bel-bel kecil). Biasanya memakai kacamata hitam. Pada kuda-kudaannya juga diberi kerincingan. Di samping penari ebeg juga ada dua orang yang mengenakan topeng yang berfungsi sebagai pelawak. Kedua pelaku ini biasanya disebutPenthul dan Tembem. Peralatan instrumen yang digunakan yaitu gendang, gong bumbung, saron, kenong, dan trompet.
Untuk permainannya yaitu mereka berbaris jajar dua-dua atau tiga-tiga atau empat-empat. Dengan dipimpin oleh seorang pawang atau pemimpin para penari dengan lincahnya menari-nari dengan gerakan maju mundur. Sekali-kali menggelengkan kepala dan berputar keliling. Tangan kiri memegang leher kuda sambil mengerak-gerakkan kudanya. Penari nampak gagah seolah-olah benar-benar mereka sedang menunggang kuda. Tarian ini diiringi dengan instrumental tanpa vokal.
sumber : http://belahanusantara.info/wp-content/uploads/2015/11/Kuda_Lumping_1.jpg
maaf sebelumnya.. itu gambar yang tertera bukankah Reog Ponorogo ya.
BalasHapusitu gambarnya kok jatilan punya ponorogo. jangan ngawur mas.
BalasHapus